“Bagi sosiologi sains, setiap penjelasan sainfitik mesti dilihat bersamaan dengan kelompok sosial dan nilai-nilai yang menciptakannya. Kelompok sosial di sini bisa berupa badan pakar atau disiplin ilmu pengetahuan yang mendefinisikan masalah lingkungan atau siapa yang boleh terlibat dalam pengumpulan data. Nilai sosial di sini bisa berupa asumsi mengenai kegiatan tertentu yang dianggap bermasalah. Misalnya, banyak penelitian tentang konservasi hutan digerakkan oleh cara pandang hutan sebagai alam liar (wildness).” (Forsyth, 2011: hal. 33)
Banyak penjelasan saintifik terhadap isu lingkungan yang selama ini kita gunakan sesungguhnya sangat bermasalah. Ini bisa kita temukan baik dalam penelitian, bangun usulan kebijakan, maupun praktik untuk menjaga lingkungan. Kita cukup akrab dengan deretan penjelasan seperti ini: “pertanian menyebabkan erosi”, “penggembalaan berlebih menyababkan degradasi lahan”, “perladangan berpindah menyebabkan deforestasi”, atau “deforestasi menyebabkan banjir”. Penjelasan semacam ini sudah lama menjadi a priori, menjadi semacam “hukum” alam. Menjadi asumsi mendasar yang jarang kita geledah ulang sebelum menjadikannya dasar atau asumsi penelitian dan kebijakan. Kita membangun hipotesa dari penjelasan saintifik yang tampaknya universal itu.
Soal inilah yang Tim Forsyth, ulas dalam karyanya, “Politicizing environmental explanation: how can political ecology learn from sociology and philosophy of science?” Ini salah satu bab dalam buku “Knowing Nature : Conversations at the Intersection of Political Ecology and Science Studies”, yang disunting oleh Mara J. Goldman, dan kolega, terbitan University of Chicago Press, 2011.
Di sini Forsyth mengajukan pendekatan ekologi politis (political ecology) yang terbaru, dia menyebutnya pendekatan ‘sains menapak’ (‘situated science’). Ia menyimpulkan bahwa ilmu pengetahuan tidak universal, dan seharusnya lebih banyak pihak terlibat untuk memberi penjelasan saintifik bagi setiap masalah lingkungan.
Untuk tiba pada kesimpulan itu, Forsyth menelusuri jejak perkembangan pendekatan ekologi politis sejak masa awal, ketika para pengusungnya berusaha menyelidiki ulang pernyataan-pernyataan universal, seperti yang disebut di atas. Mereka melihat bahwa pernyataan saintifik yang murni bersifat kausalitas, “karena x dilakukan/terjadi, maka terjadilah y”, punya berderet masalah.
Pendekatan penarikan kesimpulan semacam itu, dalam filsafat ilmu pengetahuan disebut ‘positivis’ karena “metode-metode ini diterapkan untuk membangun prediksi ‘positif’ (dalam arti bisa dipercaya) tentang dunia berdasarkan kecenderungan yang diambil dari sampel-sampel yang lebih kecil.” (hal. 32) Jadi, tujuannya untuk membuat prediksi yang kemudian bisa dipakai mengambil kebijakan atau tindakan langsung. Masalahnya, hasil penarikan kesimpulan di satu konteks kemudian dianggap berlaku di semua tempat.
Mari kita lihat salah satu contoh yang Forsyth ajukan. Seusai bencana besar berupa badai angin yang terjadi ketika kekeringan melanda AS, dikenal dengan sebutan ‘dust bowl’ , pada tahun 1931 para ilmuan mulai merancang apa yang kemudian disebut sebagai universal soil loss equation (USLE). Metodologi ini, karena dianggap benar secara universal, telah diterapkan untuk mengukur dan menghasilkan prediksi tingkat erosi di seluruh belahan dunia, termasuk di negera-negara tropis Afrika dan Asia.
Persoalannya, secara geomorgologi AS berbeda dengan negara-negara tropis. Selain itu, ketika menerapkannya di Thailand sejak 1970-an misalnya, para ilmuan lebih banyak menerapkannya untuk kawasan pertanian saja. Akibatnya, pertanian dan petani mulai dianggap sebagai penyebab utama erosi. Bukan hanya karena terjadi overestimasi tingkat erosi akibat penggunakan metodologi yang dibangun jauh di luar konteks penelitian, tetapi juga karena obyek kajian diambil secara selektif: hanya menoyoroti sistem budidaya petani. Karena tujuan penelitian hanya untuk menyoroti para petani, mereka pun hanya menemukan petani sebagai penyebab erosi.
Penelitian ini hanya membenarkan ‘nilai-nilai’ saintifik yang sudah menjadi keyakinan selama ini bahwa “hutan adalah sesuatu yang baik” dan bahwa “perladangan berpindah selalu merusak hutan.” Karena itu solusinya, perketat akses terhadap hutan dari para kelompok orang yang lantas mereka sebut “perambah”.
Demikianlah, pendekatan positivis seringkali mengabaikan beraneka penyebab yang mendasari perubahan lingkungan, dan solusi yang diambil seringkali tidak membawa dampak perbaikan dalam jangka panjang, di samping meminggirkan kelompok sosial yang sudah termiskinkan oleh berbaga sebab lain.
Paparan Forsyth ini mengiringi apa yang ia bangun sebagai perkembangan ekologi politis dua matra. Matra pertama bermula pada kurun awal ekologi politis. Para pengusungnya banyak menyoroti ‘kepentingan’: atas kepentingan siapa penelitian dibuat, bagaimana satu penjelasan ilmiah dibangun, disebarkan, lalu disepakati atau diterima secara umum. Sejak itu, penjelasan saintifik tidak lagi tampak sebagai narasi universial. Bahwa ada kepentingan di balik setiap penelitian, yang menentukan pertanyaan apa yang diajukan, hipotesis seperti apa yang dibangun, dan dengan begitu metode apa yang digunakan dan hasilnya seperti apa.
Singkatnya, kajian-kajian ‘kepentingan’ ini mendalami bagaimana penjelasan saintifik ditopang oleh kelompok sosial tertentu. Fokusnya pada melihat hubungan antara bangunan sains dan kelompok sosial tertentu.
Kajian ini seperti ini banyak menggunakan pendekatan historis, etnografis, dan analisis wacana. Mereka menghasilkan kajian kritis atas narasi dominan tentang persoalan lingkungan. Dengan kata lain, pendekatan ini membongkar politik isu lingkungan. Masalah lingkungan bukan lagi sekadar masalah sains, tetapi juga masalah kepentingan politis. Skala penelitian bukan hanya di lokasi fisik tempat satu isu lingkungan muncul, tetapi melebar ke gejala yang muncul pada teks-teks kebijakan, media, lembaga, dan semacamnya.
Dengan pendekatan seperti ini, menghasilkan bangunan ‘masalah’ lingkungan adalah persoalan kacamata (kepentingan) siapa yang dipakai untuk meneliti. Insititusi, formal dan informal, yang berbeda akan punya penjelasan yang berbeda. Narasi yang berbeda. Forsyth menyebut pendekatan ini sebagai, “kajian kepentingan sosial dalam sains” (study of social interest in science).
Namun pendekatan ini punya masalah sendiri. Kajian ini bisa saja mengabaikan pertanyaan seperti “apakah perubahan iklim benar-benar terjadi? Atau apakah deforestasi benar-benar menyebabkan banjir?” (hal. 36)
Untuk mengatasi dilema ini, muncullah matra ekologi politis lain. Para ilmuan pengusung matra mulai menghubungan antara kepentingan tadi kembali ke masalah lingungan secara fisik. Mereka memakai pendekatan yang sama dengan matra sebelumnya, seperti penerapan kajian historis, etnografis, serta analisis wacana, tetapi menambahkannya dengan kajian yang menganalisis kondisi fisik masalah ekologi yang diteliti—sebagaimana yang digunakan dalam penelitian positivis. Perbedaannya dengan penelitian bersifat positivis ialah bahwa kajian semacam ini tidak memulai dengan kerangka teoretis universal. Kajian seperti ini dimulai dengan penelitian sosial seperti kerja-kerja etnografis, misalnya dengan mengkaji bagaimana petani memperlakukan satu lanskap. Dari sana muncul berbagai perspektif yang lalu diuji dengan metode-metode saintifik.
Forsyth mengangkat dua contoh penelitian semacam ini dari utara Thailand. Kita lihat salah satunya, yang meneliti para petani orang Mien, dengan melakukan penelusuran terhadap nilai-nilai lokal dengan pengukuran-pengukuran saintifik. Orang Mien menanam banyak tanaman, dari padi, jagung, kacang, hingga jeruk dan kopi, di ketinggian antara 700-800 mdpl. Kajian ini bertanya bagaimana petani merespon degradasi tanah. Mereka menggunakan campuran metode seperti foto-foto udara historis, GIS, dan wawancara dengan petani.
Penelitian ini menemukan bahwa erosi memang terjadi, terutama di daerah lereng, dan tingkat erosi memang tinggi. Tapi petani juga mengatakan bahwa mereka tahu risiko erosi, dan karena itu mereka menghindari bertani di lereng-lereng yang paling miring. Mereka berkonsentrasi di kawasan yang datar atau lereng-lereng yang landai. Dengan begitu, mereka pun berkontribusi dalam menghindari tingkat erosi yang lebih tinggi.
Penelitian ini pun menemukan bahwa erosi juga terjadi di kawasan hutan, dan bahwa sebagian erosi bukan disebabkan oleh kegiatan bertani, namun karena komposisi tanah yang rawan erosi: keberadaan lapisan granit di bawah permukaan tanah. Struktur tanah seperti ini berkontribusi menciptakan erosi parit (gully erosion), yang juga menyumbang pada tingginya tingkat erosi. Bahkan, di beberapa titik warga menanam sejumlah tanaman di parit-parit seperti itu, semisal pisang untuk pakan ternak. Dengan begitu, petani bahkan membantu menjaga tutupan lahan yang juga berperan mengurangi tingkat erosi.
Temuan-temuan ini menunjukkan bagaimana asumsi yang menuding perladangan dataran tinggi sebagai penyebab utama erosi sungguh bermasalah, dan bahwa ada berbagai penyebab erosi lain yang bukan disebabkan oleh pertanian. Ini membantah pandangan populer di Thailand, dan Asia Tenggara secara umum. Pandangan yang ditopang oleh sangat banyak penelitian, aturan, lembaga dominan, sampai opini publik.
Penelitian ini membantu kita menemukan suara orang-orang yang selama ini tersisihkan, sekaligus memberi penjelasan saintifik mengenai suara tersebut. Dengan begitu, penelitian saintifik diarahkan bukan oleh lembaga dominan, tetapi oleh suara mereka yang selama ini dibungkam oleh narasi dominan. Karena itu penelitian semacam ini bisa menghasilkan penjelasan saintifik alternatif. Karena itu, Forsyth menyebutnya sains menapak (situated science): penelitian yang menghargai pendapat petani terpinggirkan dan memberinya muatan saintifik.
Penelitian-penelitian sains menapak menunjukkan bagaimana pendekatan ekologi politik bisa membantu kita memahami ‘penciptaan’ masalah lingkungan dalam konteks politis tertentu, dan apa saja alternatifnya. Memberi kita gambaran saintifik atas masalah lingkungan dari kacamata yang lebih beragam, terutama dari cara pandang mereka yang terpinggirkan.
Catatan Kritis oleh Nurhady Sirimorok