FSRG also carry out research, some of which are in progress and have been completed, here is a list:

Research

Understanding the livelihoods and Aspirations of young people in the context of agrarian change and development in Maros District, South Sulawesi - 2021-2022

The SIP youth and development project aims to identify what skills, education, and knowledge matter to the livelihoods needs and changing aspirations of young people across rural, coastal, and peri-urban areas in Maros District. The objectives aim to identify the social and economic status of young people and their changing aspirations, examining how gender dynamics, changing livelihoods, and knowledge influence youth aspirations and access to employment. Understanding these dynamics will also help to identify key issues around skills, education, and training, and seeks to align with policy priorities in the future. This engagement will examine which skills young men and women have, how they obtain those skills, and the overall aspirations of young people for obtaining the types of desired skills in the future.

The initiative aims to look at various landscapes and typologies in Maros, particularly around planned large infrastructure projects connected to larger development interests. The three landscape types include hinterland (rural upland), landscape transition areas, and downstream urbanization sites, as well as rural coastal. In these contexts, class, ethnicity, gender and livelihoods provide the backdrop for the ways in which youth and agrarian transitions are taking place. They related to the process of labor relations, changing means and role of production, and involve broader notions of precarity.

Location: Desa Salenrang, Desa Pajukukang, Desa Barugae, and Desa Palantikang in Maros Regency

Funded by the Australian government through the Australia-Indonesia Centre under the PAIR program.

Fair for whom? Comparing politics, power and precarity in transformations of tropical forest-agriculture frontiers in Southeast Asia

Rapid land-use change in tropical forest-agriculture boundaries–including the transformation from swidden to commercial agriculture— have created new or reinforced ecological and social crises, as well as inequalities, including gender injustices. With this research we aim to understand: (i) how transformations of the forest-agriculture frontier impact ecosystem services and the associated human well-being bundles of the local communities; (ii) the degree to which forest and agricultural transformation affect women and other marginalized groups, how they respond toward these changes, the degree of their involvement in the decision-making processes, and how power relations affect their participation, as well as to provide realistic and participatory intervention to ensure gender-transformative actions; (iii) the discursive and political narratives around swidden, forests, commodity agriculture, climate change policies and interventions to assess how institutional factors and underlying power structures may create, reinforce or reduce vulnerability and precarity; (iv) (through comparative analysis) the general patterns across different landscapes and contexts, and how we can find possibilities for alternative pathways of change.

In Indonesia, we selected two landscapes in West and South Sulawesi as case study sites. We will undertake a comparative analysis with other six case study sites in Southeast Asia and Central Africa, using holistic and transdisciplinary approaches and by combining data and knowledge systems from various data sources. This allows us to better understand the conditions that enable or hinder equitable outcomes in various contexts across the regions as well as trade-offs in various land use trajectories. Such an approach will also provide a more complete picture of the range of possible outcomes for local people and ecosystems in fast shifting forest-agriculture frontiers. Our collaboration with policymakers and local people is expected to co-create knowledge via evidence-based workshops and policy dialogues and provide ‘voice’ to groups who are typically overlooked in policymaking processes.

Location: our overall project’s case study regions (coordinated by RIHN, Kyoto) are Malaysian Borneo (Sabah, Sarawak), Mainland Southeast Asia (Laos), and the Congo Basin (Cameroon, Democratic Republic of the Congo (DRC)).

Supported by: RECOFTC, CIFOR, SIDA

There is no result yet because it remains ongoing Abstract

Understanding marginalization in forest governance: From legal access to livelihood for youth, gender, and indigenous people

There are around 42,471 villages located in and surrounding the state forest of Indonesia. Almost half of the people who live in and around the forest (including indegenous people) are poor and the village categorised as underdeveloped. Since 2014, the government has been campaigning for agrarian reform in the forestry sector through social forestry programs focusing on providing access to forest resources for the rural people.

However, as access granting policies are largely centralized, the local needs are far from being accommodated, and most of the implementation excludes marginal groups especially rural youths, indigenuous, and women. Women have to face patriarchal culture that is well established in the local social structure, discriminating against them in access and control of rural resources.

Massive out migration of youth to urban or foreign rural areas to look for jobs due to the lack of access to rural resources. Indigenuous people’s power in relation to the state in forest management is still weak despite regulations intended to accommodate their needs. There are tendencies in which inclusivity is significantly neglected in forest resource management. The programs are focusing on quantitative targets, rudimentary services, with top-down mechanisms, and mostly incompatible with the local conditions.

 

The research is aimed to understand the causes, forms, extent of inclusivity practices and policies in forest resources management in Indonesia.

Research and Assesment

Impact study of Social Forestry in South Sulawesi (Kajian Dampak Perhutanan Sosial Provinsi Sulawesi Selatan)

Isu kehutanan merupakan salah satu topik utama di era kepemimpinan presiden Joko Widodo. Target RPJMN tahun 2015- 2019 merupakan bukti konkrit komitmen kebijakan  dalam Pemberian Akses Kelola Kawasan Hutan oleh masyarakat seluas 12,7 juta ha melalui skema perhutanan sosial.

Program ini dipercaya mampu mendistirbusikan manfaat secara berkeadilan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan, yang pada akhirnya berimplikasi pada kontribusi terhadap kelestarian hutan. Kajian ini berfokus pada performansi perhutanan sosial wilayah Provinsi Sulawesi Selatan pada aspek ekonomi, sosial, dan kontribusi terhadap kelestarian. Ketiga aspek kajian tersebut dilihat secara utuh berdasarkan kriteria dan indikator dari 8 komponen utama yang menggambarkan kondisi terkini geliat perhutanan social di Sulawesi Selatan.

Meskipun tidak ada hasil yang dianggap mutlak dan absolut, namun berdasarkan hasil kajian ini menunjukkan bahwa dari 33 skema perhutanan sosial (HKm/HD/HTR/Hutan Adat) yang dianalisis, terlihat perubahan mendasar dari pola aksesbilitas masyarakat terhadap kawasan hutan. Meskipun demikian, tidak satupun wilayah izin perhutanan sosial yang secara simultan memiliki kesempurnaan pencapaian dari seluruh aspek: aspek social; ekonomi; dan kelestarian.Sumbangan terbesar untuk rasio pencapaian perhutanan sosial di Sulawesi Selatan saat ini hanya berputar pada aspek social, yakni timbulnya aksi kolaboratif dari para pihak untuk mendukung pengakuan hak dan pembaruan agraria melalui pendelegasian akses legal pengelolaan hutan kepada masyarakat. Namun, bukan berarti aspek ekonomi dan kelestarian terabaikan.

Kajian ini menunjukkan terdapat 9,5% usaha perhutanan sosial yang dikelola kelompok mampu meningkatkan pendapatannya lebih dari 10%. Capaian ini didukung oleh turut andilnya aktor eksternal dalam proses pendampingan kelompok tani hutan, baik dalam penguatan kelembagaan, resolusi konflik, hingga memfasilitasi penguatan market system unit usaha kelompok perhutanan sosial.

Di sisi lain, masih terdapat sebanyak 66,7% responden yang berpersepsi bahwa kontribusi perhutanan sosial terhadap aspek ekonomi, social, dan kelestarian masih menjadi bagian dari capaian masa depan.  Kajian ini memperlihatkan bahwa peran para pihak masih sangat dibutuhkan untuk mendorong keberpihakan yang lebih besar terhadap masyarakat di dalam dan di sekitar Kawasan hutan sebagai aktor kunci pengelolaan hutan yang lestari, berkeadilan, dan berkelanjutan.

Funded by the Ministry of Environment and Forestry of the Republic of Indonesia

The result project can be seen here (PDF) Kajian Dampak Perhutanan Sosial Provinsi Sulawesi Selatan

Research and Policy Brief

Implementation Strategy of Jangka Benah in Social Forestry Program (Strategi Implementasi Jangka Benah dalam Program Perhutanan Sosial).

Membongkar tanaman sawit yang berada dalam kawasan hutan, atau melakukan rehabilitasi dan restorasi sawit dengan program tradisional proyek rehabilitasi oleh pemerintah akan membutuhkan biaya yang sangat besar, mengingat sekitar 3 juta hektar sawit yang diindikasikan berada dalam kawasan hutan, belum lagi biaya sosial yang dibutuhkan mengingat jutaan penduduk masih menggantungkan hidupnya dari sektor penghidupan sawit ini.

Dalam geopolitik global persepsi terhadap komoditas sawit juga saat ini menekankan agar adanya kepastian akan legalitas dan kelestarian, sehingga para pihak terutama pemerintah dapat menggunakan momentum untuk mengatasi keterlanjuran ini  dengan mengarahkannya pada kepastian legalitas, produktifitas, dan kelestarian. Komitmen pemerintah dengan kebijakan Strategi Jangka Benah (SJB) yang dimaksudkan mengatasi keterlanjuran kelola sawit sekitar 3 juta ha yang berada dalam kawasan saat ini, telah mendapatkan momentum sejak UU Cipta kerja tahun  2021  berikut turunannya telah resmi diundangkan negara.

Tujuan kajian ini adalah menganalisis peluang implementasi SJB dalam kerangka kebijakan, mengidentifikasi dan analisis strategi jangka benah, menganalisis faktor-faktor pendukung implementasi strategi jangka benah, serta menyajikan rekomendasi percepatan implementasi  Strategi Jangka Benah. Metode kajian ini adalah melakukan analisis isi terhadap dokumen peraturan perundangan terkait jangka benah yang telah ada, serta observasi pada lokasi yang telah memulai demonstrasi plot pada lokasi uji coba SJB ini di Kalimantan Tengah dan lokasi non-demplot di Provinsi Sulawesi Barat. Laporan ini dimulai dengan menyajikan kondisi umum keterlanjuran pengusahaan sawit dalam kawasan hutan secara nasional dan lebih khusus di kedua provinsi lokasi kajian. Juga diberikan telaah akademis bagaimana kebun kebun sawit rakyat yang memungkinkan secara ilmiah dan sebenarnya telah ada praktek di lapangan bagaimana kebun campur berbasis sawit tetap dapat menjaga produktivitas ragam komoditi kebun campur, menunjang kelestarian dan penghidupan masyarakat lokal. SJB saat ini telah berada pada momentum implementasi agar dapat terintegrasi dengan kerangka perubahan agraria di Indonesia secara keseluruhan baik yang dilekatkan pada pemberian izin usaha perhutanan sosial, maupun upaya pemberian akses kepemilikan melalui ragam skema pelepasan kawasan hutan. Kajian ini melihat pintu legalitas perhutanan sosial sebagai payung legal untuk transformasi sawit yang berada dalam kawasan hutan tersebut menjadi kebun campur pada tahun ke 26 pada hutan produksi dan tahun ke 16 pada hutan lindung dan konservasi telah kembali pada habitat hutan untuk mendukung fungsi hutan yang dimandatkan oleh Undang Undang. Proses rehabilitasi dan proses restorasi menjadi hutan kembali tentunya tidak boleh meninggalkan masyarakat yang bergantung dengan ekosistem hutan tersebut, serta kompleksitas penghidupan masyarakat yang telah terlanjur mengusahakan sawit.

SJB selain didalamnya ada rehabilitasi dan restorasi, juga ada unsur pemberdayaan dan pengorganisasian masyarakat. Political will pemerintah masih sangat rendah. Resiko politik SJB ini secara praktikal diterjemahkan sebagai kebijakan tidak popular dikalangan beberapa agensi pelaksana pemerintah karena sawit sangat sensitif atau diangap sebagai risiko politis karena dianggap melegalkan deforestasi. Sebenarnya dengan payung perhutanan sosial resiko yuridisnya sudah terselesaikan. Observasi kami di lapangan menemukan adanya kesimpangsiuran secara politis atau keenganan dari perangkat agensi kehutana terkait untuk mempercepat pengusulan PS-SJB maupun integrasi SJB kedalam PS. Instrumen legalitas sudah cukup kapasitasnya, hanya saja keinginan untuk menerapkannya terutama kejelasan verifikasi usulan serta mengarusutamakan dan mempercepat integrasi SJB kedalam PS yang sudah ada. SJB ini merupakan momentum RESOLUSI atas keterlajuran sawit dalam Kawasan hutan yang akut, dimana praktek kebun campur sawit diperkuat, agar tidak terjebak pada instrument solusi seperti program Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang selama ini dilakukan.

Unpublished report research

Gender Issues in Social Forestry Program

There is no result yet because it remains ongoing

Work for People, Land and Forest!